Ia pernah berjaya. Ia juga pernah takluk. Tapi tak sekalipun ia pernah merunduk. Tengadah. Selalu tengadah. Bermain habis-habisan hingga tetes keringat terakhir terperas dari tubuhnya.
Situs Taruhan
Itu sebab ia geram. Tak rela melihat Liverpool di kandang sendiri seperti tak bernyali. Apalagi melawan Manchester United. Pantang.
Ia ingin berteriak ke rekan-rekannya, "Ini Anfield!" Urung. Gemuruh suara penonton yang menyambutnya masuk ke lapangan cukup mewakilinya.
Bola liar. Ia berlari mengejar. Juan Mata, pemain yang menjadi duri dalam daging bagi Liverpool di babak pertama pertandingan juga mengejar. Kesempatan 50-50 kata orang Inggris.
Ia mendengus. Jleger! Kaki beradu kaki. Lawan terkapar. Kalah kuat. Kalah mapan. Kalah berani. Begitu semestinya tekel dilakukan. Itu baru nyali. Anfield bergemuruh menyetujui.
Menguasai bola ia memutar badan. Matanya menangkap semua pergerakan lawan maupun kawan. Ia lepas umpan melambung jauh. Menyamping agak serong ke depan. Mungkin 20 meter, mungkin 30 meter. Tak penting. Tapi ketepatannya seperti penembak jitu. Lagi-lagi Anfield bergemuruh.
Rasa percaya diri pendukung dan pemain Liverpool meningkat. Sang jenderal kesebelasan ada di antara mereka. Ada yang memapah dan menghidupkan kembali semangat yang terpuruk. Mereka tidak lagi berjalan sendirian. Mereka tidak akan berjalan sendirian.
Ia kembali menguasai bola. Dari sudut matanya ia melihat Ander Herrera meluncur melakukan tekel. Ia berkelit. Lalu lupa. Sedetik saja. Tapi celaka.
No comments:
Post a Comment